MODUL PENDIDIKAN PANCASILA
PANCASILA DALAM
PERSPEKTIF HISTORIS
Era BPUPKI &
PPKI:
Pertentangan
Ideologi Nasionalis vs Islam
Kekalahan tentara Belanda 1942 kepada
tentara Jepang di Kalijati merupakan awal berkahirnya penjajahan Belanda di
Indonesia. Kemenangan Jepang tersebut –semula- disambut gembira oleh rakyat
Indonesia yang sejak awal tidak mempunyai harapan merdeka di bahwa penjajahan
Belanda. Harapan mereka, Jepang sebagai sesama bangsa Asia akan memberi
kemerdekaan kepada bangsa Indonesia dalam waktu dekat[1].
Strategi Jepang untuk menjajah Indonesia
memang cukup bagus, yaitu dengan membolehkan rakyat Indonesia mengibarkan
bendera merah putih, menyanyikan lagi Indonesia Raya, dan untuk mengganti untuk
sementara tenaga administratifnya yang ditenggelamkan Sekutu, pegawai pangreh
praja Indonesia dinaikkan pangkatnya meskipun diturunkan gajinya. Tentara
Jepang menyebut dirinya sebagai saudara tua bangsa Indonesia[2]. Dengan sangat strategis,
tentara Jepang juga merekrut intelektual Indonesia dengan memberinya wadah
Komisi Penyelidik Adat Istiadat dan Tata Negara tanggal 8 November 1942 yang
bersama-sama 13 orang Jepang mendiskusikan idea-idea mereka tentang nilai-nilai
budaya bangsa Indonesia baik untuk kepentingan Jepang maupun untuk kepentingan
Indonesia merdeka yang mereka cita-citakan[3]. Bahkan setelah kegagalan Tiga
A (Nippon Cahaya Asia, Nippon Pelindung Asia dan Nippon Pemimpin Asia, maka
didirikanlah Pusat Tenaga Rakyat (Putera) yang diketuai oleh empat serangkai,
Sukarno, Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Mas Mansur, yang mendapat sambutan
hangat dari rakyat. Setelah itu dibentuklah berbagai organisasi massa seperti Seinendan (Barisan Pemuda), Keibodan (Barisan Pembantu Polisi), Heiho yang terkenal dengan PETA yang
diprakarsai Gatot Mangkupraja. Semuanya adalah strategi Jepang untuk
‘melunakkan’ hati rakyat Indonesia agar mau membantu Jepang melawan Sekutu.
‘Kekalahan’ Jepang secara beruntun dalam
perang (PD II) melawan sekutu ‘memaksa’ pemimpin administrasi militer di
Indonesia yaitu Hayashi menganjurkan kepada Pemerintah Jepang memberi janji
kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, sebab berdasarkan pengamatannya
kesengsaraan bangsa Indonesia di bawah pemerintah Tentara Pendudukan sudah
tidak tertahankan lagi. Maka kalau Jepang secara eksplisit tidak memberikan
janjir kemerdekaan itu kepada pemimpin-peminpin Indonesia tentu mereka akan
berbalik melawan Jepang. Kalau itu terjadi, maka keadaan Jepang tentu tidak
dapat diselamatkan lagi. Saran ini kemudian diterima oleh Pemerintah Jepang
dibawah Perdana Menteri Koiso. Maka tanggal 7 September 1944, Koiso mengumumkan
ke seluruh dunia di muka sidang ke-85 Parlemen Jepang bahwa Indonesia akan
diberi kemerdekaan dalam waktu dekat[4].
Pemberian kemerdekaan dan bayangan
kekalahan Jepang tersebut akhirnya ‘memaksa, mereka untuk mengumumkan
pembentukan Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai
yang disebut kemudian sebagai Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), pada tanggal 1 Maret 1945. Pengangkatan 29 April 1945, Dr.
KRT. Rajiman Wedyodiningrat diangkat ketua (kaityo),
bukan Soekarno, yang pada waktu itu dianggap sebagai pemimpin nasional yang
utama. Pengangkatan tersebut disetujui oleh Soekarno, alasannya, sebagai
anggota biasa akan lebih mempunyai banyak kesempatan untuk aktif dalam
diskusi-diskusi.
Sidang pleno BPUPKI pertama diadakan
dari tanggal 28 Mei sampai dengan tanggal 1 Juni 1945. Tanggal 28 Mei sidang
dibuka dengan sambutan Saiko Syikikan, Gunseikan, yang menasehati BPUPKI agar
mengadakan penelitian yang cermat terhadap dasar-dasar yang akan digunakan
sebagai landasan negara Indonesia merdeka sebagai suatu mata rantai dalam
lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya[5].
Dalam pidato pembukaannya, dr. Rajiman
antara lain mengajukan pertanyaan kepada anggota sidang: “Apa dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk ini ?’. Pertanyaan ini menjadi persoalan yang paling
dominan sepanjang 29 Mei- 1 Juni 1945. Bahkan dalam rentang waktu tersebut
hadir sejumlah pembicara yang mengajukan sejumlah gagasan mengenai dasar
filosofis atas negara Indonesia yang hendak dibentuknya. Mereka misalnya
Soekarno, Moh. Yamin dan Supomo[6] yang secara argumentatif
mengemukan pendapatnya tentang dasar negara tersebut, yang pada akhirnya secara
ekplisit tanggal 1 Juni 1945, Soekarno mengemukakan pidatonya yang memberikan
jawaban yang berisikan uraian tentang lima sila. Pidato kemudian diterbitkan
dengan nama ‘Lahirnya Pancasila’. Menurut Mohamad Hatta[7], pidato Soekarno itu dikatakan
sebagai yang bersifat kompromois, dapat meneduhkan pertentangan yang mulai
tajam antara pendapat yang mempertahankan Negara Islam dan mereka yang
menghendaki dasar negara sekuler, bebas dari corak agama.
Awal munculnya Pancasila disadari adalah
bagian yang tidak terelakkan dari sejumlah pergulatan dan perdebatan founding fathers tatkala berbicara mengenai
dasar negara. Harus diakui terdapat berbagai kesulitan dalam mempertemukan
posisi-posisi ideologis anggota BPUPKI. Yang mengedepan di antaranya adalah
posisi-posisi dari mereka yang menjadikan Islam sebagai dasar negara, mereka
yang mencoba menegakkan suatu demokrasi konstitusional yang sekuler, dan mereka
yang menganjurkan negara yang disebut sebagai negara integralistik. Perdebatan
yang paling serius, emosional dan cenderung konfrontasional antara para anggota
adalah usul agar Islam dijadikan sebagai dasar
negara. Perdebatan tersebut memang pada akhirnya dimenangkan oleh kelompok
yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, terbukti dengan ditetapkannya Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 yang
merupakan suatu modus atau persetujuan antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.
Dalam perkembangan selanjutnya, ternyata
rumusan dalam Piagam Jakarta yang mencantumkan kalimat,’.........dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi
pemeluk-pemeluknya’, setelah Proklamasi Kemerdekaan yaitu pada tanggal 18
Agustus 1945, tidak diterbitkan sebagaimana draf awal. UUD yang akhirnya
diterbitkan tidak berisi konsesi-konsesi kepada posisi Islam sebagaimana
dipaparkan dalam Piagam Jakarta. Juga tidak ada keharusan bahwa Presiden harus
Islam. Mohammad Hatta dianggap berperan dalam penghapusan ketujuh kata
tersebut. Ia berhasil membujuk komisis penulis UUD untuk menghilangkan acuan
kepada Islam dalam draf akhir Pembukaan UUD. Hatta khawatir bahwa Indonesia
timur yang mayoritas Kristen tidak akan bergabung dengan Republik kesatuan bila
negara baru ini dirasakan mendukung Islam an
sich, walau secara tidak langsung sebagai dasarnya[8].
Pencoretan tujuh kata inilah yang
menimbulkan kekecewaan umat Islam terhadap pemerintahan Sukarno dan Mohammad
Hatta, yang pada akhirnya menjadikan problem ideologis ini menimpa pula masa
pemerintahan Suharto. Pergulatan awal
inilah yang menjadi problem pertentangan pilihan ideologi yang menjadi sumber
‘ancaman’ bagi republik Indonesia. Dalam perkembangan lebih lanjut, kondisi ini
ternyata tidak bisa diakhiri secara elegan, bahkan semakin lama menyimpan
sejumlah persoalan yang berakhir dengan ketegangan-ketegangan ideologi, dari
sejak awal negara Indonesia dibentuk sampai sekarang ini. Benar bila Carol
Gluck[9] mengatakan bahwa Indonesia
adalah sebuah negara yang ‘terlalu banyak
meributkan masalah ideologi dibanding negara-negara lain’. Bahkan
akhir-akhir ini utamanya tahun 1999 sejak reformasi digulirkan, ide untuk
memunculkan kembali Piagam Jakarta semakin mengedepan dalam konstelasi
perpolitikan nasional. Kalangan Islam, utamanya partai politik yang berasaskan
Islam, menjadi pilar utama bagi keinginan untuk menghidupkan kembali Piagam
Jakarta.
Dengan demikian melihat pada
perkembangan perumusan Pancasila sejak tanggal 1 Juni sampai 18 Agustus 1945,
maka dapat diketahui bahwa Pancasila mengalami perkembangan fungsi. Pada
tanggal 1 dan 22 Juni, Pancasila yang dirumuskan oleh Paniyia Sembilan dan
kemudian disepakati oleh sidang Pleno BPUPKI merupakan modus kompromi antara
kelompok yang memperjuangkan dasar negara nasionalisme dan kelompok yang
memperjuangkan dasar negara Islam. Akan tetapi pada tanggal 18 Agustus,
Pancasila yang dirumuskan kembali oleh PPKI berkembang menjadi modus kompromi
antara kaum nasionalis, Islam dan Kristen-Katolik dalam hidup bernegara. Di
atas Pancasila yang merupakan modus kompromi itu UUD dirumuskan, dan
selanjutnya UUD itu menjadi dasar untuk mendirikan Pemerintahan Republik
Indonesia[10].
Era Orde Lama :
Dinamika Perdebatan
Ideologis
Dinamika
perdebatan ideologi antara kelompok Islam dengan Pancasila adalah wajah dominan
perpolitikan nasional dari tahun 1945-1965. Bahkan pertikaian itu dilanjutkan
pada masa Orde Baru sampai Orde Reformasi ini. Pada dasarnya hal ini
dilatarbelakangi oleh kekecewaan kalangan Islam atas penghapusan Piagam Jakarta
dari Pembukaan UUD 1945, apalagi ketika penguasa (negara) menggunakan Pancasila
sebagai alat untuk menekan kalangan Islam tersebut.
Hal ini tampak ketika akhir tahun
1950-an, Pancasila sudah tidak lagi merupakan kompromi atau titik pertemuan
bagi semua ideologi sebagaimana yang dimaksud Sukarno[11]. Ini karena Pancasila telah
dimanfaatkan sebagai senjata ideologis untuk mendelegitimasi tuntutan Islam
bagi pengakuan negara atas Islam. Bahkan secara terang-terangan Sukarno tahun
1953 mengungkapkan kekhawatirannya tentang implikasi-implikasi negatif terhadap
kesatuan nasional jika orang-orang Islam Indonesia masih memaksakan tuntutan
mereka untuk sebuah negara Islam, atau untuk pasal-pasal konstitusional atau
legal, yang akan merupakan pengakuan formal atas Islam oleh negara[12].
Kekhawatiran Sukarno memang beralasan,
apalagi ketika rentang tahun 1948 dan tahun 1962 terjadi pemberontakan Darul
Islam melawan pemerintah pusat. Serangan pemberontakan bersenjata yang
berideologi Islam di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh meski akhirnya
dapat ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia, tetap saja menjadi bukti
kongkret dari ‘ancaman Islam’[13]. Bahkan atas desakan AH.
Nasution, kepala staf AD, tahun 1959, Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959
untuk kembali kepada UUD 1945 dan menjadikannya sebagai satu-satunya konstitusi
legal Republik Indonesia. Perdebatan persoalan ideologi tahun-tahun 1959-an
dianggap telah menyita energi, sementara masalah lain belum dapat diselesaikan.
Apalagi periode 1959 sampai peristiwa 30 September 1965 merupakan masa paling
membingungkan pemerintah, dengan munculnya kekuatan PKI yang berusaha
menggulingkan pemerintahan.
Era ini disebut sebagai Demokrasi
terpimpin, sebuah periode paling labil dalam struktur politik yang justru diciptakan
oleh Sukarno. Pada era ini juga Sukarno membubarkan partai Islam terbesar,
Masyumi, karena dituduh terlibat dalam pemberontakan regional berideologi
Islam. Dalam periode Demokrasi Terpimpin ini, Sukarno juga mencoba membatasi
kekuasaan semua partai politik, bahkan pertengahan 1950-an, Sukarno mengusulkan
agar rakyat menolak partai-partai politik karena mereka menentang konsep
musyawarah dan mufakat yang terkandung dalam Pancasila[14]. Dalam rangka menyeimbangkan
secara ideologis kekuatan-kekuatan Islam, nasionalisme dan komunisme, Sukarno
bukan saja menganjurkan Pancasila melainkan juga sebuah konsep yang dikenal
sebagai NASAKOM, yang berarti persatuan antara nasionalisme, agama dan
komunisme. Kepentingan-kepentingan politis dan ideologis yang saling berlawanan
antara PKI, militer dan Sukarno serta agama (Islam) menimbulkan struktur
politik yang sangat labil pada awal tahun 1960-an, sampai akhirnya melahirkan
Gerakan 30 S/PKI yang berakhir pada runtuhnya kekuasaan Orde Lama.
Era Orde Baru (1965-1985):
Awal dari Sebuah Legitimasi Kekuasaan
Peristiwa percobaan kudeta 30
September 1965 yang melibatkan Partai Komunis Indonesia telah membawa perubahan
besar dalam sejarah politik Indonesia. Peristiwa penumpasan terhadap G 30 S/PKI
dibawah komando Letjen Soeharto memberikan legitimasi politik atas ‘kesaktian’
Pancasila tanggal 1 Oktober 1965, sebagai momentum betapa PKI tidak berhasil
dan tidak pernah didukung oleh TNI dan rakyat untuk menggantikan ideologi
negara (Pancasila) dengan ideologi komunis. Tampilnya Pangkostrad Lentjen
Soeharto dalam penumpasan pemberontakan G 30 S/PKI tersebut adalah sejarah baru
bagi terjadinya peralihan kekuasaan dari Sukarno (Orde Lama) ke Suharto (Orde
Baru).
Pada awal kekuasaannya, Soeharto
berusaha meyakinkan bahwa rezim baru ini adalah pewaris sah dan konstitusional
dari presiden pertama. Dari khasanah ideologis Sukarno, pemerintah baru ini
mengambil Pancasila sebagai satu-satunya dasar negara dan karena itu merupakan
resep yang paling tepat untuk melegitimasi kekuasaannya[15]. Penamaan Orde Baru dimaklumkan sebagai
keinginan untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat atas munculnya keadaan
baru yang lebih baik daripada keadaan lama. Reorientasi ekonomi, politik dan
hubungan internasional ditambah stabilitas nasional adalah langkah awal yang
ditegakkan oleh Orde Baru.
Kekuasaan awal Orde Baru sanggup
memberikan doktrin baru kepada masyarakat bahwa setiap bentuk kudeta atas
pemerintahan yang sah dengan mencoba mengganti ideologi Pancasila adalah salah
dan harus ditumpas sampai ke akar-akarnya. Tampaknya ‘propaganda’ itu berhasil,
sehingga tampak jelas ketika rentang Oktober 1965 sampai awal 1966, terjadi
peristiwa kekerasan massal yang luar biasa dasyatnya, yaitu ‘pembantaian’
orang-orang yang dicurigai berafiliasi terhadap komunis.
Instabilitas nasional di bawah
Demokrasi Terpimpin serta percobaan kudeta tersebut meyakinkan banyak pihak,
bukan saja pihak militer, akan pentingnya men’depolitisasi’ masyarakat. Koalisi
Orde Baru, yang terdiri dari militer (sebagai kekuatan dominan), kelompok
pemuda-pelajar, Muslim, intelektual, demokrat, dsb, berhasil memberi dukungan
yang diperlukan untuk menggulingkan Sukarno dalam bulan Maret 1966[16]. Mulai saat itulah, Orde Baru menancapkan
pengaruhnya dengan menfokuskan pada Pancasila dan meletakkannya sebagai pilar
ideologi rezim. Pancasila –kemudian- menjadi suatu pembenaran ideologis untuk
kelompok yang berkuasa, tidak lagi hanya merupakan suatu platform bersama di mana semua ideologi bisa dipertemukan.
Pancasila menjadi semakin diresmikan sebagai ideologi negara, di luar realitas
Pancasila tidak sah digunakan sebagai ideologi negara. Tampaknya keinginan awal
itu berhasil menguatkan kekuasaan Orde Baru dan memberikan jaminan stabilitas
nasional yang mantap daripada Orde Lama.
Bagi Orde Baru, berbagai bentuk
perdebatan mengenai ideologi negara, utamanya antara kelompok Islam versus
nasionalis, ternyata tidak semakin membuat stabilitas nasional berjalan dengan
baik, tetapi justru struktur politik labil yang lebih mengedepan. Belajar dari
tragedi sejarah Orde Lama yang ‘agak’ serba permisif
dalam memberikan ‘ruang’ bagi tumbuhnya ideologi lain, justru berkakbat fatal
bagi berlangsungnya stabilitas kekuasaan tersebut.
Itulah sebabnya, Suharto beserta
tokoh penting Orde Baru seperti Adam Malik, menggambarkan betapa pentingnya
Pancasila bagi Orde Baru. Pancasila kemudian menjadi kekuatan paling efektif
untuk meminimalisasi kemungkinan munculnya kekuatan di luar negara. Tampaknya
di awal kekuasaannya, Orde Baru berhasil menyelesaikan masalah legitimasi
ideologisnya. Akhirnya tahun 1966 dan 1967, dasar-dasar negara suatu pemerintah
yang dilegitimasi oleh ideologi Pancasila mulai diletakkan. Menjelang
pertengahan 1966, MPRS[17] telah berhasil membersihkan dirinya dari
semua pendukung Sukarno. Sehingga, lembaga ini semakin memperoleh legalisasi
untuk mengesahkan pengambilalihan kekuasaan oleh Letjend Soeharto, tanggal 5
Juli 1966 serta berhasil menjelaskan ‘penyelewengan-penyelewengan’ dalam
pelaksanaan Pancasila dan Konstitusi yang telah terjadi selama Orde Lama di
bawah Sukarno.
Ditetapkannya Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 yang menyatakan bahwa Orde Baru yang dipimpin oleh Letjen Soeharto
didasarkan pada UUD dan Pancasila dan akan melaksanakan tujuan-tujuan Revolusi.
Ketetapan ini dengan tegas mengakui keabsahan, legalitas,dan semangat
revolusioner UUD dan Pancasila. Dan yang lebih penting lagi adalah MPRS
mengatakan bahwa sumber tertinggi hukum nasional adalah ‘semangat’ Pancasila
yang diakui MPRS merupakan cerminan dari karakter nasional serta Pembukaan UUD
yang di dalamnya asas-asas Pancasila ditegaskan, itu lebih tinggi daripada
Batang Tubuh UUD 1945[18].
Pada ulang tahun kedua puluh
‘Lahirnya Pancasila’ tahun 1967, Persiden Soeharto dan Adam Malik mengucapkan
pidato-pidato yang menegaskan pendasaran legitimasi Orde Baru kepada Pancasila.
Pancasila dianggap melegitimasi Orde Baru, membenarkan penurunan Sukarno,
mendelegitimasi Islam (sebagai kekuatan politik) dan komunisme, serta
menjanjikan masa depan yang lebih baik bagi semua rakyat Indonesia melalui peningkatan
kemakmuran nasional. Kedua tokoh sentral Orde Baru tersebut menolak demokrasi
liberal, yang pernah dijalankan oleh Orde Lama dengan UUD 1950-nya, karena
dianggap sebagai ‘penyelewengan’ dari tujuan asli Pancasila. Menurut Orde Baru,
Sukarno benar, ketika dia menolak sistem demokrasi parlementer dan membubarkan
Konstituante serta menerapkan Demokrasi Terpimpin. Dosa terbesar Sukarno
terhadap Pancasila adalah karena ia memberi dorongan kepada PKI, yang jelas
anti-Pancasila, karena komunisme tidak sesuai dengan asas pertama, kepercayaan
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Pernyataan tegas dan sering
diulang-ulang oleh kekuasaan Suharto adalah ‘perjuangan dan keyakinan Orde Baru
hanyalah untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekuen ?’[19].
Pernyataan ini jelas menunjukkan bahwa tidak boleh ada penafsiran resmi tentang
Pancasila kecuali dari pemerintah yang berkuasa.
Pada kekuasaan Orde Baru inilah Pancasila
benar-benar menjadi kekuatan ideologis paling efektif dalam usahanya
menancapkan ‘kuku’ kekuasaannya. Orde Baru menjadi kekuatan yang membela secara
jelas Pancasila sebagai ideologi, sehingga setiap ancaman besar terhadap bangsa
(kekuasaan), merupakan ancaman erhadap Pancasila, dan buktinya semua bentuk
pemberontakan dapat dihancurkan. Adam Malik menunjuk pada Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966 sebagai bukti bahwa Pancasila memang merupakan suatu sumber hukum
legal dan ‘moral’, otoritas, dan legitimasi yang tertinggi di Indonesia.
Pancasila –dengan demikian- tidak bisa dilaksanakan bila terdapat unsur-unsur
dalam bangsa yang tidak sesuai dengan ‘kepribadian nasional, misalnya ‘ideologi
asing’ yang menganjurkan diadakannya partai-partai politik oposisi, seperti di
Barat.
Realitas ini menjadi suatu bukti
betapa dalam perkembangan politik nasional era Orde Baru sangat sulit diperoleh
kekuatan di luar negara yang berani kritis atas negara. Disamping hanya akan
diberangus sampai ke akar-akarnya, gerakan oposisi justru hanya akan menambah
kekacauan dalam masyarakat. Dalam keadaan tertentu, realitas munculnya oposisi
tidak sesuai dengan Pancasila. Itulah bukti betapa Orde Baru seolah tidak bisa
dilepaskan dari Pancasila, karena bagaimanapun Pancasila adalah titik tolak
dari rezim ini. Dengan sebuah argumentasi menarik, Adam Malik mengatakan bahwa
karena itu Orde Baru memiliki suatu ‘keyakinan
yang dalam untuk mengabdi kepada rakyat dan mengabdi kepada kepentingan
nasional didasarkan pada falsafah Pancasila’.
Demikianlah awal dimana kekuasaan
Orde Baru telah berhasil meyakinkan masyarakat tentang konsistensinya dalam
mempertahankan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahkan sanggup pula
menggunakan Pancasila sebagai alat untuk memberikan legitimasi atas kekuasaan,
untuk semakin kokoh, tanpa terusik oleh kekuatan-kekuatan lain yang
merongrongnya. Orde Baru menjadi identik dengan Pancasila, sehingga setiap
usaha mengkritisinya ‘dicurigai’ sebagai usaha untuk mengubah ideologi negara,
dan itu harus ditumpas habis, tidak saja oleh aparatur negara represif
–meminjam istilah Althuser[20]- seperti presiden, menteri,
ABRI dan lembaga kehakiman, tetapi juga oleh aparatur negara ideologis, seperti
lembaga keagamaan, pendidikan, media massa, dan sebagainya.
Douglas E. Ramage[21] mengatakan bahwa meskipun
penggabungan partai-partai yang ‘dipaksakan’ pada tahun 1973 merupakan contoh jelas
dari ketergantungan pemerintah kepada ideologi nasional untuk menciptakan
demokrasi Pancasila dan melegitimasi tindakan-tindakannya, tetapi baru pada
tahun 1978 pemerintah Orde Baru melakukan ofensif ideologi yang dimaksudkan
untuk menetapkan lebih lanjut parameter-parameter dan kendali-kendali atas
wacana politik di Indonesia. Puncaknya pada tanggal 22 Maret 1978, MPR
mengesahkan sebuah ketetapan tentang ‘Pedoman Penghayatan dan Pengalaman
Pancasila (P4)’. Ketetapan ini menjadi sangat penting karena dikaitkan dengan
pedoman MPR untuk rencana pembangunan lima tahun. Dengan P4 ini dimulailah
program indoktrinasi Pancasila secara nasional melalui program-program
pendidikan ideologi yang dilaksanakan secara ketat[22].
Selama pembahasan-pembahasan di MPR
tahun 1978 mengenai rancangan ketetatapan P4, faksi NU dalam PPP melakukan
protes dengan walk out dari Majelis.
Menurut Sidney Jones[23], pada saat itu NU adalah
organisasi massa (Islam) terakhir di negara Indonesia yang masih memiliki
aspirasi-aspirasi politik dan karena ini ‘dicurigai’ oleh rezim karena pada
tahun 1971 menolak untuk mematuhi pedoman-pedoman Orde Baru tentang perilaku
politik dan kemudian tahun 1981, NU menolak mendukung Soeharto untuk masa
jabatan ketiga atau memberinya gelar ‘Bapak Pembangunan’ Dengan perkataan lain,
NU masih bertindak seakan-akan sebuah partai yang independen. Perilaku seperti
ini membuat NU menjadi sasaran tuduhan ‘anti-Pancasila’ oleh rezim, sebagaimana
dalam sebuah pidato Presiden Soeharto tahun 1980 ketika dia menyerang walk out-nya NU dengan tuduhan seperti
itu.
Semenjak itu, Presiden Orde Baru mulai
secara tegas dan keras terhadap setiap ‘kekuatan’ yang tidak mau menerima
Pancasila sebagai ideologi. Tanggal 27 Maret dan 16 April 1980, Presiden
Suharto mengeluarkan peringatan tersebut melalui pidatonya pada Rapim ABRI di
Pekanbaru. Dia mengatakan bahwa sebelum Orde Baru, Pancasila telah diancam oleh
ideologi-ideologi lain, seperti Marxisme, Leninisme, komunisme, sosialisme,
nasionalisme dan agama. Setiap organisasi di negara ini harus menerima
Pancasila sebagai ideologi, sehingga merupakan keharusan bahwa angkatan
bersenjata mendukung kelompok-kelompok yang membela dan mengikuti Pancasila.
Soeharto, bahkan mengisyaratkan agar ABRI harus mendukung partai Golkar,
sebagai konsekuensi dukungan atas pemerintahan yang membela Pancasila. ABRI
–dengan demikian- harus berdiri di atas politik. Menurut David Jenkis, Soeharto
dan kroninya di ABRI merasa bahwa jika militer ‘netral’ dalam pemilu, maka
partai Islam (PPP) akan mengalahkan Golkar. Dari pidato-pidato Soeharto, Islam
jelas digambarkan sebagai ancaman terhadap Pancasila, karena itu netralitas
ABRI sama saja dengan membahayakan Pancasila[24].
Dengan demikian, perjalanan panjang Orde Baru pada
dasarnya didasarkan pada keinginan untuk ‘menguatkan’ dan ‘menancapkan’
ideologi Pancasila sebagai satu-satunya ideologi sah negara. Dengan
‘berlindung’ dibalik ideologi Pancasila, Orde Baru yang didukung kino-kinonya (ABRI, Golkar dan
Birokrasi) menjadi kekuatan ‘luar’ biasa di negara Indonesia, tanpa dapat
disentuh oleh kekuatan manapun. Sebab, setiap kekuatan di luar mainstream
‘negara’ saat itu akan dianggap sebagai merongrong ideologi Pancasila. Setelah
ideologi komunisme mampu ditumpas, maka Soeharto masih menganggap ada kekuatan
lain yang ‘berbahaya’, yaitu yang datang dari kekuatan Islam.
Apa yang dilakukan Soeharto tersebut
memperoleh kecaman dan menimbulkan cetusan perlawanan keras dan hidupnya
kembali perdebatan mengenai Pancasila. Kelompok lima puluh yang terdiri dari
para purnawirawan ABRI yang terkemuka, mantan para pemimpin partai dan
akademisi (disebut ‘Petisi 50’) menyerang Soeharto dalam suatu pernyataan
keprihatinan’ terbuka yang dikirim ke DPR. Pernyataan itu menuduh bahwa
Soeharto telah memakai ‘alasan’ ancaman terhadap Pancasila untuk tujuan-tujuan
politiknya sendiri. Petisi 50 menganggap bahwa Pancasila tidak pernah dimaksudkan
untuk dipakai sebagai ancaman politik terhadap mereka yang dianggap sebagai
lawan-lawan politik. Pernyataan ini mengecam Soeharto, karena mencoba mem-personifikasi-kan Pancasila sehingga
tiap desas-desus tentang dia akan dianggap sebagai sikap anti-Pancasila[25]. Reaksi tersebut berakibat pada
di back-list-nya mereka oleh
pemerintah, dan banyak dari mereka ditangkapi, dipecat dan dilarang ke luar
negeri. Tapi, ikhtiar ini telah memicu bangkitnya perlawanan atas pemerintah
Orde Baru, terutama faksi NU dari PPP.
Ditetapkannya Pancasila sebagai asas
tunggal pada perkembangan selanjutnya adalah semakin memperjelas arah
kepentingan politik negara dengan menggunakan ideologi Pancasila[26]. Semua organisasi, apapun
bentuk dan jenisnya, harus mencantumkan Pancasila sebagai asas dalam anggaran
dasarnya. Menurut William Liddle[27] menjelaskan mengapa asas
tuinggal itu demikian penting bagi Orde Baru:
Pemerintah memandang islam sebagai
satu-satunya kekuatan sosial yang belum berhasil ditundukkan, belum bersedia
menerima gagasan pemerintah tentang pemegang kekuasaan tertinggi. Diterimanya
doktrin negara Pancasila oleh umat Islam merupakan simbol dari pengakuan.
Penerimaan ini juga memberikan legitimasi kepada kendali pemerintah yang
semakin ketat terhadap kehidupan organisasional umat Islam.
Bahkan, pada
bulan Mei 1982 Wakil Presiden Adam Malik dengan tegas menunjuk Islam politik
sebagai sasaran utama pemerintah:
Kita
harus menghindari perdebatan tentang ideologi dan agama....Dalam kampanye
(pemilu 1982) saya telah menekankan bahayanya memecah dan mempolarisasi diri
kita sendiri menuruti garis agama. Disengaja atau tidak, partai Islam telah
mengeksploitasi perasaan-perasaan keagamaan rakyat. Ini tidak benar dan bisa
membahayakan, suatu cara untuk memecah belah rakyat[28].
Peristiwa berdarah di Tanjung Priok pada
bulan September 1984 merupakan puncak ketegangan (politik-ideologis) antara
kekuatan Islam versus Pancasila. Hal ini dikarenakan adanya persepsi dalam sebagian komunitas Islam bahwa negara
memakai Pancasila sebagai alat ideologis untuk menindas Islam politik.
Peristiwa tersebut kemudian diikuti oleh serangkaian pengeboman pada bulan
Oktober, yang menurut pemerintah dilakukan oleh ekstremis Islam anti-Pancasila
di pusat kota Jakarta. Anggota-anggota Petisi 50, termasuk Mayjen (Purn)
Dharsono, ditangkap dan diadili dengan tuduhan subversi (anti-Pancasila) karena
menghasut peristiwa Tanjungpriok dan pengeboman di Jakarta[29].
Pada era 1990-an, kekuasaan Orde Baru
semakin memperoleh hati di masyarakat dengan kebijakan pertumbuhan ekonomi yang
cukup mengesankan. Bank Dunia, dalam suatu laporan September 1993 yang dikutip The East Asian Miracle menunjuk
Indonesia sebagai suatu ‘ekonomi Asia Timur yang berkinerja tinggi’ dan
meramalkan bahwa negara ini akan memasuki bangsa-bangsa yang ber-income-menengah menjelang peralihan
abad. Janji Orde Baru pada pertengahan tahun 1960-an tentang peningkatan besar
dalam GNP dan pendapatan per kapita pada kenyataannya telah dipenuhi. Standar
kehidupan rakyat telah membaik secara dramatis. Realitas ini semakin menguatkan
citra Orde Baru dihadapan rakyatnya. Bahkan telah berhasil membangun image tentang kebobrokan ekonomi Orde
Lama dan keberhasilan ekonomi Orde Baru. Kebobrokan ekonomi Orde Lama
disebabkan karena ‘terlalu sibuk’ melakukan perdebatan panjang tentang ideologi
negara, bahkan cenderung melakukan penyelewengan atas Pancasila. Artinya, bagi
Orde Baru, konsekuensi-konsekuensi penyelewengan tersebut adalah kondisi
perekonomian yang kacau dan ketidakstabilan politik.
Era ini ditandai dengan adanya kemesraan
antara pemerintahan Orde Baru dengan kekuatan Islam, bahkan dengan didirikannya
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), bulan Desember 1990. Kemesraan
tersebut seolah menandai berakhirnya konfrontasi ideologi antara kekuatan Islam
dengan Pancasila. Stabilitas politik pada era ini telah menjamin
terselenggaranya pembangunan secara bertahap dan membaiknya pertumbuhan ekonomi
masyarakat pada umumnya. Meskipun Sri Bintang Pamungkas, tokoh PPP (saat itu)
dan pengurus ICMI justru mempersoalkan adanya penyelewengan Pancasila utamanya
tentang asas keadilan sosial yang
tidak terpenuhi dalam pertumbuhan ekonomi tersebut.
Era Reformasi :
Antara Demokrasi dan Anarkhi
Penyelewengan masa Orde Baru
pada akhirnya berakibat pada gelombang besar reformasi yang telah berhasil
menggulingkkan kekuatan Orde Baru, Mei 1998,
dengan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan setelah 32 tahun menjadi
presiden. Munculnya reformasi seolah menandai adanya jaman baru bagi
perkembangan perpolitikan nasional sebagai anti-tesis dari Orde Baru yang
dikatakan sebagai pemerintahan korup dan menindas, dengan konformitas
ideologinya. Pada era ini, kemudian berkembang secara pesat keinginan untuk
‘mengkhayalkan’ terbentuknya masyarakat sipil yang demokratis dan berkeadilan
sosial, tanpa kooptasi penuh dari negara. Persoalannya adalah justru lepas
kendalinya kekuatan masyarakat sipil dari ‘kooptasi’ negara secara bebas dari
awal dari tragedi besar dan konflik-konflik berkepanjangan yang menandai
munculnya jaman baru tersebut. Tampaknya era ini seperti mengulang problem
perdebatan ideologis yang terjadi pada era Orde Lama, dan awal Orde Baru yang
berakhir dengan instabilitas politik dan ekonomi secara mendasar. Jatuhnya Orde
Baru yang sejak awal mengidentifikasikan sebagai –satu-satunya- pendukung
Pancasila, seolah menandai munculnya pertanyaan-pertanyaan mendasar atas
kekuatan Pancasila sebagai sebuah ideologi. Tulisan dibawah ini mencoba
menggagas ulang sekaligus meneguhkan kekuatan Pancasila sebagai ideologi, dan
memberikan spirit nilainya bagi pembentukan masyarakat sipil di Indonesia, agar
kesalahan sejarah tidak terulang lagi
(Sumber : Buku (De)
Konstruksi Indoeologi Negara : Upaya Membaca Ulang Pancasila, Listiyono
Santoso, Heri Santoso dan Soedarso, 2003, Penerbit Ning-Rat Press, Yogyakarta)
[1]
Suwarno, PJ., 1993, Pancasila Budaya Bangsa Indonesia, Kanisius, Yogyakarta ,
hlm. 99
[2] Sartono Kartodirdjo, 1977, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, Dari Emporium sampai
Imperium, Jilid I, Gramedia, Jakarta, hlm. 5-7
[3]
Suwarno, PJ. Ibid. hlm. 100
[4]
Harry Benda, Irikura, dkk., 1965, Japanese
Military Administration in Indonesia Selected Documents, Southeast Asia
Studis, Yale University . hlm.244-345
[5] Muhammad Yamin, 1959, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama,
Prapantja, Jakarta, hlm. 803
[6] Untuk lebih jelasnya tentang materi pidato, lihat Muh.
Yamin. Ibid. Dan juga penelitian PJ.
Suwarno, 1993, Pancasila Budaya Bangsa
Indonesia, Kanisius: Yogyakarta, hlm. 44-56
[7] Mohammad Hatta, 1977, Pengertian Pancasila, Idayu Press, Jakarta, hlm. 9
[8]
Adnan Buyung Nasution, 1992, The
Aspiration for Constitutional Government in Indonesia : A Socio-Legal Study of
the Indonesian Konstituante, 1956-1959, Jakarta : Sinar Harapan, hlm. 59.
[9]
Dikutip Dougkas E. Ramage, 1995, Politics
in Indonesia
Democracy, Islam and the Ideologu of Tolerancy, London : Routledge, hlm. 334.
[10]
PJ. Suwarno, op.cit. hlm. 76-77
[11]
Adnan Buyung Nasution, op.cit. hlm.
52-118
[12]
sebagaimana dikutip oleh Douglas E. Remage, op.cit.
hlm.29
[13]
Mengenai pemberontakan Darul Islam, lihat van Dijk, 1981, Rebellion under The Banner of Islam; The Darul Islam in Indonesia,
The Haque: Martinus Nijhof
[14]
Herbert Feith, sebagaimana dikutip oleh Douglas E. Ramage, op.cit. hlm. 34
[15]
Douglas R. Ramage, op.cit. hlm 41-42
[16]
Ricklefs, 1981, A History of Indonesia,
Bloomington :
Indiana University Press, hlm. 278.
[17] MPRS disebut sementara karena anggotanya hanya ditunjuk,
tidak melalui pemilu.
[18]
Douglas E. Ramage, op.cit. hlm. 44
[19] Douglas E Ramage, op.cit.
hlm 46, berdasar pada Pidato Presiden RI pada hari lahirnya Pancasila ke 20
pada tanggal 1 Juni 1967
[20] Sebagaimana dikutip oleh Yasraf Amir Piliang, dalamTim
Maula, 1999, Jika Rakyat Berkuasa, Bandung: Pustaka Hidayah, hlm.21
[21] op.cit.
hlm. 56
[22] Lihat naskah Ketetapan MPR selengkapnya: Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila
dan GBHN, Jakarta: CSIS (1978)
[23]
Sidney Jones, The Contraction and Expansion of the “umat” dan the Role of the Nahdlatul Ulama in Indonesia, dalam ‘Indonesia’,
No. 38, Oktober 1984, hlm. 9.
[24]
Douglas E. Ramage, op.cit. hlm. 57
[25] Naskah asli Pernyataan Keprihatinan dimuat dalam Harian Pelita, 16 Juli 1980. Dimana pernyataan tersebut ditandatangai oleh
purnawirawan ABRI terkemuka, seperti Mayjen (Purn) HR. Dharsono (Sekjen ASEAN),
dua mantan perdana menteri, dan Gubernur Jakarta yang populer, Mayjen (Purn)
Ali Sadikin.
[26] Terlihat dalam pidatonya, satu pada peringatan Hari
Kemerdekaan 1982 dan lainnya pada bulan Juli 1983, dimana Soeharto menjelaskan
dasar pemikiran pemerintah untuk memaksakan kepatuhan kepada Pancasila. dalam
pidato pertama Soeharto memperingatkan adanya ideologi-ideologi alternatif
selain Pancasila, yang masih dikemukakan di Indonesia. Karena itu dia
menetapkan bahwa “semua organisasi sosial politik, terutama partai-partai
politik, harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal”. Meskipun akhirnya
kebijakan ini menuai kritik, utamanya dari kalangan Islam. Lebih
jelasnya, berita Antara, 16 Agustus 1992
[27]
William Liddle, “Why Soeharto Tries to Bring Islam to Heel”, Asian Wall Street Journal Weekly, 12
Maret 1984, hlm. 11.
[28]
Sebagaimana dikutip oleh Douglas , op.cit. hlm. 64
[29]
Sinar Harapan, 19 November 1984
No comments:
Post a Comment